Guru-guru Indonesia belum mampu berkompetensi dalam
era pengetahuan. Guru lebih banyak menjadi konsumen dari pada produsen,
sehingga kualitas pembelajaran pada perserta didik tidak siap, ungkap Prof.
Amat Mukhadis pada seminar bertema “Inovasi Pembelajaran pada Pendidikan Dasar
untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran dan Mutu Sertifikasi Guru” (Suara
Merdeka, 15 Juni 2009).
Departemen
Pendidikan Nasional akan merumuskan 3 kompetensi kunci untuk melengkapi system
kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang saat ini sedang
diimplementasikan di sekolah-sekolah, (Suara Merdeka, 27 Mei 2009).
E-learning
adalah model pembelajaran elektronik, yang mengusung teknologi digital sebagai
medium utama proses pembelajarannya. E-learning juga disebut sebagai bentuk
pembelajaran yang diperkaya oleh teknologi digital, (Suara Merdeka, 5 Maret
2009).
Penguasaan
Teknologi Informasi tunjang profesionalitas guru. Peran TI sangat strategi
untuk menunjang proses kegiatan belajar mengajar di kelas maupun dalam bidang
majemen system pendidikan, (Suara Merdeka, 28 Januari 2009).
Penggalan-penggalan
tulisan tersebut menunjukan bahwa baik-buruknya kualitas pendidikan seolah-olah
ditentukan pada metode yang dipakai guru dalam mengajar. Tak henti-hentinya
pakar-pakar pendidikan berteriak lantang menyuarakan pentingnya metode
pembelajaran. Guru selalu menjadi obyek penderita bagi dunia pendidikan. Guru
selalu pada pihak yang lemah namun dituntut harus menjadi seorang hero yang
mampu merubah bangsa yang terbelakang menjadi bangsa yang superior.
Mengapa hanya
metode pembelajaran yang jadi obyek…?
Pakar
pendidikan lupa bahwa pendidikan tidak hanya metode mengajar, tetapi yang tidak
kalah penting adalah Standard Pengelolaan Pendidikan, Bidang Keuangan dan
Pembiayaan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah (Permendiknas No. 19
Tahun 2007).
Kurang
transparannya pengelolaan keuangan sekolah, khususnya untuk jenjang pendidikan
dasar dan menengah, sering diteriakan masyarakat melalui media masa,(Suara
Merdeka, 16/1/ 2009).
Tidak transparannya
pengelolaan keuangan, berakibat banyak dana investasi pendidikan yang tidak
sesuai peruntukannya. Guru dan karyawan diharuskan mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan berat yang tidak diberi uang imbalan, sehingga guru
tersebut manjadi malas bekerja dan tidak produktif. Fasilitas pendidikan dan
alat peraga pembelajaran tidak pernah diadakan, sehingga pembelajaran hanya
berkisar tulis-menulis yang monoton dan
membosankan siswa.
Kemana
larinya dana pendidikan…?
Yang tahu
larinya dana pendidikan adalah bendahara sekolah dan oknum yang lain. Sementara
guru, siswa dan masyarakat tidak tahu, karena tidak adanya laporan dana
investasi secara transparan. Sementara peran komite terdistorsi (peran dan
fungsi komite membuat kepercayaan masyarakat semakin tipis). Seolah-olah peran komite
sebagai pengacaranya sekolah atau selalu berpihak pada sekolah, (Suara Merdeka,
19 Pebruari 2009).
Cukupkah
dana investasi untuk memajukan pendidikan…?
Dana
investasi sekolah sangatlah cukup untuk kemajuan pendidikan. Sumber dana
investasi berupa BOS dari pemerintah
pusat dan pemerintah daerah, dana rutin dari pemerintah dan dana dari donatur.
Pada sekolah setingkat SLTP dengan jumlah 480 siswa, setahun bisa terkumpul
dana investasi tidak kurang dari 500 juta. Namun sekolah tersebut tidak ada
tambahan fasilitas pendidikan yang berarti dan guru semakin tidak produktif
karena tidak pernah menikmati hasil kerja kerasnya alias guru hanya kerja
gotong-royong seperti relawan.
Apabila
pengelolaan dana investasi sekolah benar-benar sesuai peruntukannya,
sekolah-sekolah di Indonesia sudah lebih maju dan mampu bersaing dengan dunia
pendidikan di Negara-negara Eropa. Namun sebaliknya, pelajar Indonesia sekarang ini sangat jauh
ketinggalan alias gaptek (gagap teknologi) dengan negara-negara Eropa. Berarti salah
satu yang menghambat kemajuan pendidikan Indonesia adalah pengelola dana
investasi alias bendahara sekolah dan oknum lainnya.
0 Comments