Digulirkannya beberapa sebutan/label status sekolah, maka sekolah-sekolah berlomba-lomba meningkatkan kualitas pembelajaran agar mendapatkan sebutan yang digulirkan pemerintah. Sebutan itu antara lain SSN (Sekolah Standard Nasional), RSBI (Sekolah Rintisan Bertaraf Internasional) dan SBI (Sekolah Bertaraf Internasional). Sekolah dengan mendapat sebutan tersebut tentunya menjadi daya tarik bagi masyarakat yang ingin bersekolah. Secara prestice sekolah tersebut telah terangkat nilai jualnya untuk menawarkan produk-produk kurikulum pembelajaran dan hasil yang akan dicapai.
SBI dan
Reguler apa bedanya…?
Dengan
sebutan Bertaraf internasional tetunya sekolah telah memberlakukan bahasa
pengantar dengan menggunakan bahasa Inggris dalam Kegiatan Belajar Mengajar
(KBM) pada mata pelajaran tertentu. Dalam satu rombongan belajar tidak lebih
dari 28 siswa tiap kelas, ruangan ber-AC, jam belajar ditambah, biaya
operasional lebih mahal, fasilitas lebih lengkap (mewah) dan pemerintah
mengalokasikan dana blockgrant Rp 300 hingga Rp 500 juta pertahun. Konsep
demikian diharapkan akan menghasilkan siswa dengan kompetensi akademik yang
tinggi dan setara dengan pelajar di negara-negara Eropha.
Sementara
bagi sekolah regular satu robongan belajar 36 sampai 40 siswa, ruang tidak
ber-AC, fasilitas tidak lengkap (mewah), menggunakan pengantar bahasa Indonesia
dan sekolah tidak mendapat blockgrant. Jadi perbedaan yang mendasar adalah
fasilitas dan biaya operasional pembelajaran.
SBI untuk
siapa…?
Kondisi
ekonomi masyarakat Indonesia
yang rata-rata miskin, dipastikan SBI hanya untuk kalangan siswa dari keluarga
menengah keatas. Walau siswa nilai akademiknya rendah, tetapii bisa masuk
sekolah SBI karena dari keluarga kaya.
Dengan demikian siswa dari keluarga miskin dilarang masuk pada Sekolah Bertaraf
Internasional. Sekolah telah mem-vonis bahwa siswa miskin tidak akan mampu
membayar biaya operasional sekolah yang telah ditentukan.
Menurut
Dekan FMIPA UNES Drs. Kasmadi Imam Supardi MS, (Suara Merdeka, 7 Juli 2009),
bahwa keefektifan sekolah bukan pada sebutan-sebutan tersebut tetapi lebih pada
seberapa besar tujuan sekolah yang telah direncanakan dan hasil yang dicapai.
Dana blockgrant ratusan juta yang digelontorkan pemerintah akan sia-sia apabila
majemen pengelolaan keuangan sekolah dan proses pembelajaran tidak efektif.
SBI sudah
empat tahun berjalan sampai sekarang dan apabila kualitas sekolah tersebut
tidak lebih baik maka Depdiknas akan menghentikan blockgrant dan status SBI di
cabut kemudian dikembalikan menjadi sekolah reguler/biasa. Kualitas yang
dimaksud adalah sesuai 8 Standard Nasional Pendidikan (SNP), akreditasi dan
penjaminan mutu (Suara Merdeka, 21 Juli 2009).
Menurut
mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Yoesoef, bahwa pembelajaran
menggunakan pengantar bahasa Inggris menjadikan bangsa Indonesia rendah diri. Matematika
yang disampaikan dengan bahasa Inggris nilainya tidak akan lebih tinggi
daripada disampaikan dengan bahasa Indonesia. Orang Amerika bisa maju
bukan karena bahasa Inggris tetapi karena mereka bisa menghayati nilai-nilai
kemajuan itu dengan pengembangan otaknya (Suara Merdeka, 11 Juli 2009).
Orang
Jepang adalah kemampuan berbahasa Inggrisnya paling jelek di dunia. Mereka
belajar di negerinya sendiri dan sangat bangga dengan bahasanya itu. Pelajar
Jepang tidak suka dengan bahasa Inggris dan sekolah-sekolah di Jepang
menggunakan pengantar bahasa Jepang. Namun hasil pendidikan yang dicapai bangsa
Jepang bisa merambah keseluruh dunia. Orang jepang setelah lulus sekolah mampu
menduduki pucuk-pucuk pimpinan perusahaan beskala Internasional. Mereka lebih
kreatif serta mempunyai etos belajar dan bekerja sangat tinggi.
Internasionalisasi
lembaga-lembaga pendidikan Indonesia
bisa menyesatkan bangsa Indonesia
sendiri. Pelajar ber-asumsi bahwa bahasa Inggri-lah satu-satunya bahasa yang
membuat suatu negara menjadi maju. Padahal kualitas lembaga pendidikan di
Jepang menduduki ranking teratas dunia bukan karena bahasa Inggris tetapi lebih
pada hasil pembelajaran yang dicapai dan penghayatan nilai-nilai pendidikan.
Jadi Indonesia
perlu belajar dengan bangsa Amerika atau bangsa Jepang. Bahasa Inggris bukanlah
bahasa yang menjadikan bangsa Amerika dan bangsa Jepang menjadi maju. Pelajar Indonesia
belajar di Indonesia dan
hasil belajar untuk mambangun Indonesia.
Maka sebaiknya pelajar Indonesia
harus ditumbuhkan sikap untuk berbangga dengan
bahasanya sendiri sesuai dengan “Sumpah Pemuda”.
0 Comments