Siswa di salah satu SMP di Klaten, pergi sekolah tanpa sarapan dan tanpa
uang saku. Sesampai di sekolah, siswa tersebut meminta uang temannya dengan
paksa (memalak). Puluhan temannya telah menjadi korban pemalakan. Setiap teman
diminta antara Rp 500,- sampai Rp 1000,-. Setiap hari ada dua anak yang dimintai
uang, dan hari berikutnya meminta teman yang lain. Dalam meminta uang, memilih
teman laki-laki yang dianggap penakut secara bergiliran dan dengan ancaman
tertentu. Apabila temanya tidak memberi uang, mereka diancam akan dipukuli atau
di keroyok teman-temannya.
Ada beberapa teman yang menjadi langganan untuk
dimintai uang. Sehingga, anak yang menjadi langganan tersebut harus
menyembunyikan uangnya di dalam sepatu, agar si-pemalak tidak tahu. Sebab,
kalau sedang meminta dan dijawab tidak punya, si-pemalak tidak percaya lalu
menggeledah saku baju dan celana calon korbannya.
Dalam satu tahun, si-pemalak berhasil memalak teman-temannya ± Rp
750.000,-. Namun, uang pamalakan itu tidak semuanya di pakai sendiri. Sebab,
ada beberapa teman sekelasnya yang juga diajak untuk menikmati uang tersebut.
Karena uang tersebut tidak selalu dihabiskan untuk jajan di kantin sekolah,
tetapi untuk jajan di warung kucing dekat rumah si-pemalak.
Kasus ini terungkap setelah ada laporan salah satu orang tua siswa yang
menjadi korban pemalakan kepada pihak sekolah. Selanjutnya pihak sekolah
melakukan klarifikasi ke beberapa pihak. Dan ternyata, pemalakan ini telah
dilakoni selama 2 tahun, sejak si-pemalak baru kelas VII dan baru terungkap
setelah si-pemalak kelas VIII.
Profil si-Pemalak.
Si-pemalak adalah dari keluarga miskin di Kecamatan Trucuk, Kabupaten
Klaten. Setiap harinya, tinggal di rumah sederhana bersama adik perempunnya
yang baru kelas VI SD. Bapaknya berdagang es di kota
Cilacap, Ibu dan Kakaknya mencari nafkah di Kalimantan.
Praktis dua anak ingusan ini hidup sendiri tanpa pengawasan dan bimbingan orang
tuanya. Sementara sanak famili dan tetangganya, tak pernah peduli dengan
anak-anak ini.
Dalam setiap bulanya, kedua anak ini dikirimi uang dari orang tuanya
untuk biaya hidupnya. Menurut pengakuannya, uang kiriman tidak cukup untuk
biaya hidup satu bulan. Setiap pagi berangkat ke sekolah, kedua anak ini tidak
pernah sarapan dan ketika pulang sekolah ± pukul 13.00 WIB, kedua anak ini
tidak bisa langsung makan tetapi harus memasak dulu. Setelah ± pukul 14.30 WIB,
kedua anak ini baru bisa makan. Jenis menu makannyapun, setiap hari hanya nasi,
kerupuk dan mie instant.
Berangkat ke sekolah sering terlambat, dan baru pukul 09.00 WIB, anak
ini sudah mengantuk dan tidur, kepalanya ditaruh diatas meja belajar. Pekerjaan
rumah (PR dari sekolah) tidak pernah dikerjakan. Didalam kelas tidak bisa
mengikuti pelajaran dengan baik, sehingga selalu menjadi bulan-bulanan guru
yang sedang mengajar. Sering dikeluarkan dari kelas karena anak ini tidak
membawa buku pelajaran, tidak mengerjakan tugas dari guru dan tidak
memperhatikan gurunya yang sedang mengajar. Setiap ulangan selalu mendapatkan
nilai yang jelek/dibawah rata-rata kelas, sehingga saat pembagian raport
nilanya selalu ranking terbawah di kelasnya.
Setiap di panggil ke kantor guru atau Bimbingan Konseling (BP), anak ini
selalu menunjukan sikap penyesalannya, sambil menangis. Selalu berjanji untuk
tidak melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, tetapi di lain waktu selalu
mengulang-ulang pelanggaran tata tertib. Badan kurus, muka pucat, baju kumal
dan seperti tidak pernah mandi dan anak ini sepintas kelihatan kurang sehat. Dalam pergaulan, anak
ini kelihatan kurang percaya diri, mudah tersinggung dan marah.
UUD 1945 Bab XIII, pasal 31, Ayat 1…(Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran).
UUD 1945 Bab XIV, pasal 34…(Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
dipelihara oleh Negara).
Fenomena ini hanyalah salah satu contoh profil pelajar Indonesia di tahun 2008. Sementara
kisah nyata yang mirip dengan fenomena ini jumlahnya jutaan pelajar, bahkan
tersebar di seluruh wilayah Indonesia
tak terkecuali di kota metropolitan, Jakarta.
0 Comments