A. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Al-Asy'ariyah
1. Sejarah Aliran Al-Asy'ariyah
Nama
lengkap Al-asy’ari adalah Abu al-Hasan Ali bin Ismail bin Ishaq bin
Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi
Musa Al-asy’ari. Ia lahir di Bashrah pada tahun 260H/875M. Ketika
berusia 40 tahun, ia hijrah ke kota Bagdad dan wafat di sana pada tahun
324H/935M. [2]
Gerakan
Al-Asy’ariah mulai pada abad ke-4.Ia terlibat dalam konflik dengan
kelompok-kelompok lain, khususnya Mu’tazilah. Dalam konflik keras ini
,al-Baqilani memberikan andil besar.ia di anggap sebagai pendiri kedua
aliran Asy’ariah. Permusuhan I ni mencapai puncaknya pada abad ke-5 H
atas prakarsa Al-kundari (456 H = 1064M), yang membela Mu’tazilah.Di
khurasan ia mengorbankan fitnah yang berl;angsung selama 10 th. Tragedi
ini menyebabkan imam al-Haramain menyinggir ke jihaz.sejumlah tokoh
besar dari aliran Al-Asy’ariah di penjarakan, termasuk al-Qusyairi (466
H=1074M)sang sufi yang menulis risalah yang berjudul Syikayah al-Sunnah di Hikayah ma Nalahum min al-Mihnah.
Hingga
hari ini, pendapat Al-Asy’ariah masih tetap menjadi akidah Ahl
al-Sunnah. Pendapatnya sangat dekat dengan pendapat al-Maturidi yang
satu saat pernah di tentang karena persaingan dalam masalah fiqih,
karena ia mewakili orang-orangSyafi’iyah dan malikiyah mendominasi
pendapat Al-Asy’ariyah.
2. Tokoh-tokoh Dalam Aliran Al-Asy'ariyah
- a. Abu Hasan Al-Asy’ari
- b. Abu Bakar Al-Baqillani (403 H = 1013 M)
- c. Imam Al-Haramain (478 H = 1058 M)
- d. Al-Ghazali (505 H = 1111 M)
- e. Al-Syahrastani (548 H = 1153 M)
- f. Fakhr Al-Din Al-Razi (606 H=1209 M)
3. Metode Asy’ariah
Madzhab
asy’ari bertumpu pada al-Qur’an dan al-sunnah.Mereka mata teguh
memegangi al-ma’sur.”Ittiba”lebih baik dari pada ibtida’(Membuat
bid’ah).
Dalam mensitir ayat dan hadist yang
hendak di jadikan argumentasi, kaum Asy’ariah bertahap, yang ini
merupakan pola sebelumnya sudah di terapkan oleh Asy’ariah. Biasanya
mereka mengambil makna lahir dari anas (Teks al-quran dan al-Hadist),
mereka berhati-hati tidak menolak penakwilan sebab memang ada nas-nas
tertentu yang memiliki pengertian sama yang tidak bias di ambil dari
makna lahirnya, tetapi harus di takwilkan untuk mengetahui pengertian
yang di maksud.
Kaum asy’ariah juga tidak
menolak akal, karena bagaimana mereka akan menolak akal padahal Allah
menganjurkan agar Ummat islam melakukan kjian rasional.
Pada
prinsipnya kaum Asy’ariah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada
akal seperti yang di lakukan kaum mu’tazilah, sehingga mereka tidak
memenangkan dan menempatka akal di dalam naql (teks agama).akal dan nql
saling membutuhkan.naql bagaikan matahari sedangkan akal laksana mata
yang sehat.dengan akal kita akan bias meneguhkan naql dan membela agama.[3]
4. Pandangan-pandangan Asy’ariah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah yang berbeda dengan Muktazilah, di antaranya ialah:
- Bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil kalau Tuhan mempunyai sifat, seperti yang melihat, yang mendengar, dan sebagainya, namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk. Artinya harus ditakwilkan lain.
- Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
- Tuhan dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
- Perbuatan-perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Tuhan.
- Keadilan Tuhan terletak pada keyakinan bahwa Tuhan berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
- Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
- Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini)[4], sebaba tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, danperbuatan.
Berkenaan
dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu keadilan, tauhid,
melaksanakan ancaman, antara dua kedudukan, dan amar maksruf nahi
mungkar, hal itu dapat dibantah sebagai berikut :
Arti
keadilan, dijadikan kedok oleh Muktazilah untuk menafikan takdir.
Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan kebururkan atau
memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya,
itu satu kezaliman. Sedangkan Allah Maha-adil, tak akan berbuat zalim.
Adapun
tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an
itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu
yang tidak berawal. Konsekuensi pondasi berpikir mereka yang rusak ini
bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk.
Sebab kalau tidak akan terjadi kontradiksi.
Ancaman
menurut Muktazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian
hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya.[5]
Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak
akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki.
Adapun
yang mereka maksud dengan di antara dua kedudukan bahwa orang yang
melakukan dosa besar tidak keluar dari keimanan, tapi tidak terjerumus
pada kekufuran. Sedangkan konsep amar makruf nahi mungkar menurut
Muktazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan
kepada mereka. Termasuk kandungannya ialah boleh memberontak kepada
para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zalim.
5. Pemikiran Al-Asy’ari dalam Masalah akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah yaitu :
a. Periode Pertama
Beliau
hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan
sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira
selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk
akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan
kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau
berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah
yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah
beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15
hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk
mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
c. Periode Ketiga
Pada
periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua
sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya
diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan
tahrif. Beliau pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar
punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya.
6. Doktrin-Doktrin Teologi Al- Asy’ary
Corak
pemikiran yang sintesis ini menurut Watt, barangkali dipengaruhi
teologi kullabiah (teologi Sunni yang dipelopori Ibn Kullab (w 854 M).[6] Pemikiran-pemikiran Al-asy’ari:
a) Tuhan dan sifat-sifatnya
Al-asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Dengan kelompok mujasimah
(antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat, Allah
mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan sunnah, dan
sifat-sifat itu harus difahami menurut harti harfiyahnya. Kelompok
mutazilah berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain adalah
esensi-esensinya. Al-asy’ari berpendapat bahwa Allah memang memiliki
sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki dan ini tidak boleh
diartikan secara hartiah, sifat-sifat Allah itu unik sehingga tidak
dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.
b) Kebebasan dalam berkehendak (free will)
Dari
dua pendapat yang ekstrim, yakni jabariah dan fatalistic dan penganut
faham pradterminisme semata-mata dan mutazilah yang menganut faham
kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya
sendiri[7].
Al-asy’ari membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta (khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib), hanya Allah lah yang mampu menciptakan
segala sesuatu (termasuk keinginan manusia).
c) Akal dan wahyu dan kriteria baik dan buruk
Walaupun
Al-asy’ari dan orang-orang mutazilah mengakui pentingnya akan dan
wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan
wahyu, sementara mutazilah mengutamakan akal.
d) Qadimnya Al-Qur'an
Mutazilah
mengatakan bahwa Al-Qur'an diciptakan (makhluk) sehingga tak qadim
serta pandangan mazhab Hambali dan Zahiriah yang mengatakan bahwa
Al-Qur'an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Zahiriah
bahkan berpendapat bahwa semua huruf, kata dan bunyi Al-Qur'an adalah
qadim[8].
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu
Al-asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur'an terdiri atas kata-kata,
huruf dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah dan karenanya
tidak qadim.
e) Keadilan
Pada
dasarnya Al-asy’ari dan mutazilah setuju bahwa Allah itu adil.
Al-asy’ari tidak sependapat dengan mutazilah yang mengharuskan Allah
berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi
pahala kepada orang yang berbuat baik. Menurutnya, Allah tidak memiliki
keharusan apapun karena ia adalah penguasa mutlaq. Dengan demikan
jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadailan dari misi manusia yang
memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahewa Allah adalah
pemilik mutlak.
f) Kedudukan orang berdosa
Al-asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang di anut Mu’tazilah.[9]mengingat
kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr., predikat bagi seseorang
haruslah salah satunya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu,
al-asy’ari berpendpat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin
yang fasik, sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufr.
7. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Akidah
ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani
Saljuq dan seolah menjadi akidah resmi negara. Paham Asy’ariyah semakin
berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nidzamiyah, baik yang ada
di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad
adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi
negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta
sultan Shalahuddin Al-Ayyubi.
8. Dasar-Dasar Pemikiran Al-Asy’ari Dalam Akidah.
a. Periode Pertama
pada
periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini
membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai
pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode kedua
pada
periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika
akal, yaitu: Al-Hayah (hidup) ,Al-Ilmu (ilmu) ,Al-Iradah (berkehendak)
,Al-Qudrah (berketetapan), As-Sama' (mendengar), Al-Bashar
(melihat),Al-Kalam (berbicara)
c. Periode ketiga : pada periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
- Takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
- Ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
- Tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
- Tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
B. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Al- Maturidiyah
1. Definisi Aliran Maturidi
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam,
aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur
Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran
maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan
sebagai nama aliran ini.[10]
Maturidiyah
adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi
yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami
dalam membantah penyelisihnya seperti Mu’tazilah, Jahmiyah dan
lain-lain untuk menetapkan hakikat agama dan akidah Islamiyyah. Sejalan
dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam
yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok
Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak
rasional.
2. Sejarah Aliran Maturidi
Abu
Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Ia dilahirkan di
sebuah kota kecil di daerah Samarkan yang bernama Maturid, di wilayah
Trmsoxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang disebut Uzbekistan.
Tahun kelahirannya tidak diketahui pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 hijriyah. Ia wafat pada tahun 333 H/944 M[11].
gurunya dalam bidang fiqih dan teologi yang bernama Nasyr bin Yahya
Al-Balakhi, ia wafat pada tahun 268 H. al-Maturidi hidup pada masa
khalifah Al-Mutwakil yang memerintah pada tahun 232-274 H/847-861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni
bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan
dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Ta’wil
Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I, Al-jald, dll. Selain itu ada pula
karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid
dan sarah fiqih.
Al-Maturidiah merupakan salah
satu sekte Ahl-al-sunnah al-Jamaah, yang tampil dengan
Asy’ariyah.Maturidiah da Asy’ariyah di lahirkan oleh kondisi social dan
pemikiran yang sama.kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan
mendesak yng menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi kaum
rasionalis,dimana yang berada di paling depan adalah kaum
mu’tazilah,maupun ekstrimitas kaum tekstualitas di mana yang berada di
barisan paling depan adalah kaum Hanabilah.
3. Tokoh-Tokoh dan Ajarannya
Tokoh
yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al- Yusr
Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal
pada tahun 493 Hijriyah.Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya
adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi
sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya
adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku
al-‘Aqa’idal Nasafiah.[12]
Seperti
Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham
dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini,
terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran
Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang
mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti
paham-paham Al-Badzawi.
4. Doktrin-doktrin Aliran Al-Maturidi
a. Akal dan wahyu
Dalam
pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur'an dan akal
dalam bab ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi,
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan
akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal
dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah
melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk
ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan
tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya.
Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan
pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang
diperintah ayat-ayat tersebut. Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak
mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya.
Dalam
masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan
buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah
atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik
dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk
dijadikan sebagai pembimbing. Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan
akal pada tiga macam, yaitu:
1. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu.
2. Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebutuhan sesuatu itu
3. Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.[13]
Jadi,
yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk
karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi
tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari.
b. Perbuatan manusia
Menurut
Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala
sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi
mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan
sebagai pencipta perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada
peretentangan antara qudrat tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan
ikhtiar yang ada pada manusia. Kemudian karena daya di ciptakan dalam
diri manusia dan perbuatan yang di lakukan adalah perbuatan manusia
sendiri dalam arti yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga daya
manusia.[14]
c. Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Menurut
Al-Maturidi qudrat Tuhan tidak sewenang-wenang (absolut), tetapi
perbuatan dan kehendaknya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan
keadilan yang sudah ditetapkannya sendiri.
d. Sifat Tuhan
Dalam
hal ini faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan
keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat
Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidi
mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan
oleh Al-Qur'an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat
22dan 23. namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya
(bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di
dunia.
f. Kalam Tuhan
Al-Maturidi
membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan
kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi
adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf
dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita
ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak
di ketahui, kecuali dengan suatu perantara.[15]
g. Perbuatan manusia
Menurut
Al-Maturidi, tidak ada sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali
semuanya atas kehendak Tuhan, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan
oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena itu, tuhan tidak wjib beerbuat ash-shalah wa-al ashlah
(yang baik dan terbaik bagi manusia). setiap perbuatan tuhan yang
bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepada
manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang di kehendaki-Nya.
Kewajiban-kewajiban tersebut adalah :
· Tuhan
tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia di luar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan
manusioa juga di beri kemerdekaan oleh tuhan dalam kemampuan dan
perbuatannya.
· Hukuman atau ancaman dan janji terjadi karena merupakan tuntunan keadilan yang sudah di tetapkan-Nya.
h. Pelaku dosa besar
Al-Maturidi
berpendapat bahwa orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal
di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena tuhan
sudah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya.kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang yang
berbuat dosa syirik.dengan demikian, berbuat dosa besar selain syirik
tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. Oleh karena itu,
perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang
kafir atau murtad
i. Pengutusan Rasul
Pandangan
Al-Maturidi tidak jauh beda dengan pandangan mutazilah yang berpendapat
bahwa pengutusan Rasul ke tengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan
agar manusia dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
Pengutusan
rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajarannya
wahyu yang di sampaikan rasul berarti mansia telah membebankan sesuatu
yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.[16]
5. Pokok-Pokok ajaran Al-Maturidi
·
Kewajiban mengetahui tuhan. Akal semata-mata sanggup mengetahui tuhan.
Namun itu tidak sanggup dengan sendirinya hukum-hukum takliti
(perintah-perintah Allah SWT).
· Kebaikan dan kerburukan dapat diketahui dengan akal
· Hikmah dan tujuan perbuatan tuhan
6. Golongan-Golongan Dalam Al-Maturidi
· Maturidiyah Samarkand (al-Maturidi)
Yang
menjadi golongan ini dalah pengikut Al-maturidi sendiri, golongan ini
cenderung ke arah paham mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal
sifat-sifat tuhan, maturidi dan asy’ary terdapat kesamaan pandangan,
menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat,tuhan mengetahui bukan
dengan zatnya, melainkan dengan pengetahuannya.
Aliran
maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal al-waid wa al-waid.
Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.
· Maturidiyah bukhara (Al-Bazdawi)
Golongan
Bukhara ini dipimpin oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia
merupakan pengikut maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam
pemikirannya.Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid maturidi. Dari
orang tuanya, Al-Bazdawi dapat menerima ajaran maturidi. Dengan
demikian yang di maksud golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut
Al-Bazdawi di dalam aliran Al-maturidiyah, yang mempunyai pendapat lebih
dekat kepada pendapat-pendapat Al-asy’ary. Aliran Maturidiyah
Bukhara lebih dekat kepada Asy'ariyah sedangkan aliran Maturidiyah
Samarkand dalam beberapa hal lebih dekat kepada
Mutazilah,terutama dalam masalah keterbukaan terhadap peranan akal[17]
7. Pengaruh Al-Maturidi di dunia Islam
Aliran
al-Maturidiyah ini telah meninggalkan pengaruh dalam dunia
Islam. Hal ini bisa dipahami karena manhajnya yang memiliki ciri
mengambil sikap tengah antara aqal dan dalilnnaqli, pandangannya yang
bersifat universal dalam menghubungkan masalah yang sifatnya juziy ke
sesuatu yang kulliy. Aliran ini juga berusaha menghubungkan antara
fikir dan amal,mengutamakan pengenalan pada masalah-masalah yang
diperselisihkan oleh banyak ulama kalam namun masih berkisar pada
satu pemahaman untuk dikritisi letak-letak kelemahannya.
Keistimewaan yang juga dimiliki al-Maturidiyah bahwa
pengikutnya dalam perselisihan atau perdebatan tidak sampai
saling mengkafirkan sebagaimana yang pernah terjadi dikalangan
khawarij, rawafidh dan qadariyah.[18]Aliran mi selanjutnya banyak dianut oleh mazhab Hanafiyah.
8. Karya Aliran Al-Maturidi
·
Buku Tauhid, buku ini adalah buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah
aliran Maturidiyah. Dalam buku ini untuk membuktikan kebenaran
pendapatnya, ia menggunakan Al Qur’an, hadis dan akal, dan terkadang
memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.
·
Ta’wilat Ahli Sunnah, buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di
dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan
pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada
hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan
satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir
Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an.
· Al Maqalat, peneliti buku At Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada di beberapa perpustakaan Eropa.
C. Perbedaan Antara Asy’ari Dan Al-Maturidi
· Tentang sifat Tuhan
Pemikiran
Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa
Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat
Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan
sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
· Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah,
perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri.
Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara
tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata
diwujdukan oleh manusia itu sendiri.[19]
· Tentang Al-Quran
Pandangan
Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama
mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka
berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu
makhluq.
· Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan
Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah
berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat
Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
· Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan
Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang
mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur
ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada
pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
· Tentang Janji Tuhan
Keduanya
sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan
pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat
jahat.[20]
· Tentang Rupa Tuhan
Keduanya
sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi
tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi
arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Az-Zubaidi menyatakan
bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu
adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah
mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah wal Jamaah atas dasar
ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur
Al-Maturidi.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat di simpulkan :
·
Kelompok Asy’ariyah dan Al-maturidi muncul karena ketidakpuasan Abul
Hasan Al-Asy’ari dan Abu Manshur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud
Al-Maturidi terhadap argumen dan pendapat-pendapat yang dilontarkan oleh
kelompok Muktazilah. Dalam perjalannya, Asy’ari sendiri mengalami tiga
periode dalam pemahaman akidahnya, yaitu Muktazilah, kontra Muktazilah,
dan Salaf.
· Antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal
sebagai berikut: Tentang sifat Tuhan, tentang perbuatan manusia, tentang
Al_Qur’an,kewajiban tuhan, Pelaku dosa besar, Rupa tuhan, dan juga
janji tuhan.
· Pokok-pokok ajaran
al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran
al-Asy'ariyah dalam merad pendapat-pendapat Mu'tazilah.Perbedaan yang
muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka atau dalam
masalah cabang.
· Pemikiran-pemikiran al
Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi
memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan
dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua
kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu
kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang
paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok
Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.
B. Saran-saran
Sangat berhati-hatilah dengan apa yang kamu ucapkan untuk Allah, karena Surat Qaf, ayah 18, “setiap kata yang diucapkan akan ditulis oleh dua malaikat, Raqib dan Atid” Juga
berhati-hatilah dari buku-buku tafsir/terjemahan Quran yang
menserupakan Allah SWT dengan makhluk-Nya, dengan mensifati Dia dengan
cahaya, tangan, betis, wajah, duduk, arah, tempat dan sejenisnya. Allah
bebas dari segala kelemahan dan segala sesuatu penyerupaan dengan
makhluk-Nya. Segala puji bagi Rabbul Alamien, Yang Esa yang bersih dari
segala penyerupaan dan segala sifat yang tidak pantas, dan dari segala
yang merendahkan yang dikatakan oleh orang yang tidak benar tentang Dia
DAFTAR PUSTAKA
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003),
Abd2ul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut: )
Hamid,Jalal Muhammad Abd,Al-, Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh,Dar Al-Kitab,Beirut,1975.
Madkour, Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Bumi Aksara, Jakarta, 1995.
Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU
Nasution, Harun, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, 1986.
Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2009
[1] Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunna wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU (Cd ii Jakm-
gn I aniuhnia Prcss 2005). h. 24
[2] ) Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm120.
[3] Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Bumi Aksara,Jakarta,1995,hlm.66
[4] Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124
[6]) Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm121
[7] ) Ibid.,hlm.122.
[8] ) Ibid.,hlm.122.
[9] Ibid.,hlm.124
[10] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003), h. 167.
[11] ) Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm124
[12] Harun Nasution. Op.cit
[13] ) Ibid.,hlm.126
[14] Ibid.,hlm.127
[15] ) Ibid.,hlm.129.
[16] Nasution.op.cit hal 131-132
[17] Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU
[18] Abd2ul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq (Dar al-Kutub al-ilmiah: Beirut:
t.th). h, 28
[19] Abdul Rozak dan Rosihon anwar,op.cit.,hlm127
[21] Al-Ustadz Fadlol bin Syaikh Abdissyakur Seniori, al-kawakib al-Lamaah, Surabaya:hidayah, hal 36
0 Comments