A. JABARIYAH
1. Asal-Usul Pertumbuhan Jabariyah
Kata
jabariyah berasal dari kata jabara yang berarti memaksa, didalam
al-munjid dijelaskan bahwa nama jabariyah berasal dari kata jabara yang
mengandung arti memaksa dan mengharuskannya melakukan sesuatu.[1].Selanjutnya,
kata jabara bentuk pertama setelah ditarik menjadi jabariyah memiliki
arti suatu kelompok atau aliran (isme). Dalam bahasa inggris, jabariyah
disebut fatalism atau predestination yaitu faham yang menyebutkan bahwa
perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh qadha’ dan qadhar
tuhan[2].
Faham
al-jabar pertama kali diperkenalkan oleh ja’d bin dirham kemudian
disebarkan oleh jahm bin shafwan dari khurasan. Namu dalm
perkembangannya, faham al-jabar juga dikembangkan oleh tokoh lainnya
diantaranya an-najjar dan ja’ad bin dirrar.
Sebenarnya
faham al-jabar sudah muncul jauh sebelum kedua tokoh diatas.
Benih-benih itu terlihat dalam peristiwa sejarah berikut ini:
a.
Suatu ketika nabi menjumpai sahabatnya yang sedang bertengkar dalam
masalah takdir tuhan. Nabi melarang mereka untuk mendebatkan persoalan
tersebut, agar terhindar dari kekeliruan penafsiran tentang ayat-ayat
tuhan mengenai takdir[3].
Khalifah
umar bin khattab pernah menangkap seseorang yang ketahuan mencuri.
Ketika dientrogasi, pencuri itu berkata” tuhan telah menentukan aku
mencuri” mendengar ucapan itu, umar marah sekali dan menganggap orang
itu telah berdusta kepada tuhan. Oleh karena itu, umar memberikan dua
jenis hukuman kepada pencuri itu. Pertama, hukuman potong tangan. Kedua,
hukuman dera karena menggunakan dalil takdir tuhan[4].
b.
Pada pemerintahan daulah bani umayyah, pandangan tentang al-jabar
semakinmencuat ke permukaan. Abdullah bin abbas, melalui suratnya
memberikan reaksi kertas kepada penduduk syria yang diduga berfaham
jabariyah.
Berkaitan dengan kemunculan aliran
jabariyah, ada yang mengatakan bahwa kemunculannya diibatkan oleh
pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama yahudi bermazhab Qurra
dan agama kristen bermazhab Yacobit[5].
2. Para Pemuka Jabariyah Dan Dokrin-Dokrinnya
Menurut
Asy-Syahratsani, jabariyah dapat dikelompokkan menjadi dua bagian,
ekstrim dan moderat. Diantara dokrin jabariyah ekstrim adalah
pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan
yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan
oleh dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu
bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha’ dan
qadhar tuhan yang menghendaki demikian[6].
Diantara pemuka jabariyah ekstrim adalah sebagai berikut:
a. Jahm bin shofwan, nama lengkapnya adalah Abu Mahrus Jaham Bin Shafwan. Ia barasal dari Khurasan bertempat tinggal di kuffah.
Pendapat jahm yang berkaitan dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut ini;
1.
Manusia tidak mampu untuk berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya,
tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
2. Syurga dan neraka tidak kekal. Tidak ada yang kekal selain tuhan.
3. Iman adalah ma’rifat atau membenarkan dalam hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan aliran kaum Murji’ah.
4.
Kalam tuhan adalah mahluk. Allah maha suci dari segala sifat dan
keserupaan dengan manusia seperti berbicara, mendengar dan melihat.
b.
Ja’ad bin Dirham, adalah seorang maulana bani hakim, tinggal di
damaskus. Ia dibesarkan dalm lingkungan orang kristen yang senang
membicarakan tentang teologi. Dokrin pokok Ja’ad secara umum sama dengan
fikiran jahm Al-Ghuraby yang menjelaskan sebagai berikut;
1. Al-quran itu adalah mahluk, oleh karena itu dia baru. Sesuatu yang baru itu tidak dapat disifatka kepada Allah.
2. Allah tidak mempunyai sifat yang serupa dengan mahluk, seperti berbicara, melihat, dan mendengar.
3. Manusia terpaksa oleh Allah dalam segala-galanya.
Berbeda
dengan jabariyah ekstrim, jabariyah moderat mengatakan bahwa tuhan
memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun yang
baik. Tetapi manusia mempunyai bagian dalamnya. Yang termasuk tokoh
jabariyah moderat adalah sebagai berikut;
a.
An-najar, nama lengkapnya adalah husain bin muhammad an-najar, para
pengiktnya disebut An-Najariyyah atau Al-Husainiyah. Diantara
pendapat-pendapatnya adalah sebagai berikut;
1.
Tuhan menciptakan segala perbuatan manusia, tetapi manusia mengambil
bagian atau peran dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan itu. Itulah yang
disebut kasab dalam teori Al-Asy’ry[7].
2.
Tuhan tidak dapat dilihat diakhirat, akan tetapi ia menyatakan bahwa
tuhan dapt saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada mata sehingga
manusia dapat melihat tuhan[8].
b.
Adh-Dhiar, nama lengkapnya adalah Dhirar Bin Amr. Pendapatnya tentang
perbuatan manusia sama dengan husein an-najjar, bahwa manusia tidak
hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang, manusia mempunyai bagian
dalam perwujudan perbuatannya dan tidak semata-mata dipaksa dalam
melakukan perbuatannya.
Mengenai ru’yat tuhan diakhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat diakhirat melalui indera keenam.
B. QADARIYAH
1. Asal-Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah
berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata qadara yang artinya kemampuan
dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi Qadariyah adalah
suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang
adalah pencipta bagi segala perbuatannya.
Seharusnya,
sebutan qadariyah diberikan kepada aliran yang berpendapat bahwa qadar
menentukan segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupun yang
jahat. Namun, sebutan tersebut telah melekat kaum sunni, yang percaya
bahwa manusia mempunyai kebebasan berkehendak.
Menurut
Ahmad Amin, qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani
dan Ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat
dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Adapun Ghailan adalah
seorang orator berasal dari Damaskus dan ayahnya menjadi maula Usman bin
Affan.
2. Dokrin-Dokrin Qadariyah
Dalam
kitab al-milal wa an-nihal, pembahasan masalah Qadariyah disatukan
dengan pembahasan dokrin-dokrin mu’tazilah, sehingga perbedaan antara
kedua aliran ini kurang begitu jelas[11].
Qadariyah
pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan
atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan
segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun
berbuat jahat. Olah karena itu, ia berhak mendapat pahala atas perbaikan
yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan
yang diperbuatnya.
Fahan takdir dalam pandangan
qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa
arab ketika itu, yaitu faham yang menyatakan bahwa nasib manusia telah
ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia
bertindak hanya menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap
dirinya.
Dengan pemahaman seperti ini, kaum
Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk
menyandarkan segala perbuatan manusia kepada tuhan. Dokrin-dokrin ini
mempunyai tempat pijakan dalam dokrin islam sendiri. Banyak ayat
Al-quran yang dapat mendukung pendapat ini. Misalnya dalam surat
Al-Kahfi ayat 29, yang artinya;
Dan Katakanlah:
"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir".(Qs.Al-Kahfi:29)
“Sesungguhnya
Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”.(Qs.Ar-raad:11)
“Barangsiapa yang mengerjakan dosa, Maka Sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri”.(Qs.An-Nisa’:111)
A. Kesimpulan
Tuhan
adalah pencipta segala sesuatu, pencipta alam semesta termasuk di
dalamnya perbuatan manusia itu sendiri. Tuhan juga bersifat Maha Kuasa
dan memiliki kehendak yang bersifat mutlak dan absolut. Dari sinilah
banyak timbul pertanyaan sampai di manakah manusia sebagai ciptaan Tuhan
bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan
perjalanan hidupnya? Apakah Tuhan memberi kebebasan terhadap manusia
untuk mengatur hidupnya? Ataukah manusia terikat seluruhnya pada
kehendak dan kekuasaan Tuhan yang absolut?.
Menanggapi
pertanyaan-pertanyaan tersebut maka muncullah dua paham yang saling
bertolak belakang berkaitan dengan perbuatan manusia. Kedua paham
tersebut dikenal dengan istilah Jabariyah dan Qadariyah. Golongan
Qadariyah menekankan pada otoritas kehendak dan perbuatan manusia.
Mereka memandang bahwa manusia itu berkehendak dan melakukan
perbuatannya secara bebas. Sedangkan Golongan Jabariyah adalah antitesa
dari pemahaman Qadariyah yang menekankan pada otoritas Tuhan. Mereka
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan
kehendak dan perbuatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah analisis perbandingan, UI Press, Jakarta, 1986.
Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Al-Dar Al-Fikr: Beirut.
Watt, Montgomery. W. Islamic Philoshopy and Theology: An Extended Survey. Harrassowitz: Edinburg University, 1992.
[1]luwis ma’luf, al-mufid al-lughah wa al-alam, beirut, dar Al-Masyriq, 1998. Hal 78.
[2]harun nasition, teologi islam: aliran-aliran sejarah analisa perbandingan, UIPress, cet V.Jakarta, 1986, hal 31.
[3]aziz dahlan, sejarah pemikiran perkembangan dalam islam, beunneubi cipta. Jakarta.1987 hal 27-29.
[4]ali musthafa al-ghurabi, tarikh al-firaq al-islamiyah, kairo, 1958, hal 15
[5]sahiludin a. Nasir, pengantar ilmu kalam, rajawali, 1991, jakarta, hal 133
[6]ibid,nasution, hal 286-287
[7]ibid,asy-syahrastani, hal 89
[8]nasution, teologi, hal 35
0 Comments