Pakar
pendidikan Said Hamid Husein mengatakan kebijakan Buku Sekolah Elektronik (BSE)
sejauh ini tidak efektif bagi sekolah miskin dan sekolah yang berada didaerah
terpencil. BSE hanya bisa diakses oleh sekolah kaya dan berada dikota, karena
untuk mengakses BSE harus dengan fasilitas komputer dan jarinagn internet,
(Suara Merdeka, 17 Juni 2009).
Pemerintah
melalui Sekretaris Jendral Departemen Pendidikan Nasional menyiapkan Bantuan
Opersional Sekolah (BOS) buku teks pelajaran untuk siswa SD dan SMP senilai Rp
3 triliun. Dana ini untuk pengadaan buku teks lima mata pelajaran badi siswa SD dan SMP,
(Suara Merdeka, 20 Juni 2009).
Apakah
kalau ada BSE, urusan pendidikan selesai…?
Masalah
kualitas pendidikan tidak cukup dengan pengadaan buku secara gratis. Program
BSE telah diluncurkan namun kurang efektif. Proses untuk memiliki buku BSE
perlu fasilitas yang mahal yaitu selain SDM guru dan siswa juga fasilitas
Komputer yang memadai. Guru-guru di Indonesia 75% tidak bisa computer
dan siswa 60% dari keluarga kurang
mampu. Sementara untuk mengakses internet membutuhkan dana yang cukup mahal.
Untuk apa
BOS buku…?
Karena BSE
dirasa kurang efektif dan cukup mahal, maka tindakan selanjutnya adalah
pemerintah menggelontorkan dana Rp 3 triliun, berupa program BOS Buku untuk
siswa SD dan SMP. Dengan program ini diharapkan siswa SD dan SMP tak lagi
kekurangan buku teks pada beberapa mata pelajaran.
Seperti apa
Budaya membaca dan menulis guru…?
Persoalan
yang paling mendasar pada dunia pendidikan di Indonesia adalah Budaya Membaca
sangat rendah. Fenomena yang terjadi
dilapangan bahwa guru-guru di Indonesia sangat malas membaca. Tentunya budaya
guru ini akan berpengaruh pada siswa pada umumnya. Terlihat 96% guru di Indonesia tidak pernah bikin tulisan
berupa artikel, buku modul, karya ilmiah dan sebagainya. Guru disekolah hanya
mengajar, waktu luang digunakan untuk bergunjing alias omong kosong. Guru yang
malas membaca tentu saja tidak bisa membuat tulisan dan jauh ketinggalan
dibanding guru-guru di Eropha . Guru yang seperti ini ibarat katak dalam
tempurung, sudah merasa pintar, merasa cendikia, merasa seorang pendidik yang
super tahu dan merasa setiap omongannya menjadi panutan masyarakat. Padahal
kenyataannya guru-guru tersebut miskin ilmu, ibarat Tong Kosong Berbunyi
Nyaring.
Apakah Kemampuan
baca anak SD dan SMP rendah…?
Ketua Badan
Standar Nasional Pendidikan (BNSP) yang juga Direktur Program Pascasarjana UNY
Prof. Djemari Mardapi PhD mengemukakan bahwa berdasarkan suevei, kekmampuan
baca siswa SD Indonesia tergolong rendah. Karena siswa Indonesia menduduki urutan ke-26
dari 27 negara yang disrvei. Demikian pula berdasarkan studi TIMSS-R
tahun2000,siswa SMP kemampuan membacanya juga rendah, (Suara Merdeka, 2 April 2008).
Pada
kenyataan yang terjadi dimasyarakat dewasa ini bahwa pustaka belum dipandang
sebagai sesuatu yang sangat penting keberadaanya. Guru dan siswa lebih senang
mendatangi kantin sekolah dari pada datang ke perpustakaan. Guru lebih tertarik
membicarakan cerita sinetron daripada membicarakan jurnal karya ilmiah.
Dianggapnya gedung perpustakaan hanyalah seonggok gudang tua yang angker dan
buku dianggapnya hanyalah sampah-sampah.
Padahal pustaka adalah jendela
dunia, gudangnya ilmu pengetahuan dan merupakan guru yang paling setia.
Jadi,
program BSE dan BOS Buku akan tidak efektif, karena guru dan siswa Indonesia
bukanlah pembaca buku yang baik. Sejarah bangsa Indonesia mempunyai budaya membaca
yang sangat rendah. Agar program BSE dan BOS Buku bisa berhasil, maka yang
perlu diprioritaskan adalah program budaya membaca bagi masyarakat, guru dan
pelajar.
0 Comments