Guru atau
pendidik yang tak bisa bepacu dengan perkembangan teknologi dipastikan akan
mengalami masalah. Guru bisa kalah dengan siswanya yang aktif meng-apdate
pengetahuannya. Ini membuat para guru kehilangan kharisma dan wibawanya. Contoh
seorang guru di Tiongkok tahun 2005 bunuh diri karena pengetahuannya kalah
dengan siswanya yang didapat dari internet. Contoh lagi di Jerman seorang guru
mengundurkan diri dari profesinya karena siswanya lebih pintar dalam mengakses
internet pada saat jam istirahat (Ardhie Raditya, Suara Merdeka, 6 Juli 2009).
Diskripsi
diatas adalah contoh kenyataan seorang guru
yang masih Gaptek (Gagap Teknologi). Guru yang tidak mengikuti
perkembangan amat sangat menghambat perkembangan pendidikan dewasa ini.
Idealnya guru harus menguasai ICT (Information Comunication Teknologi) dengan
baik. Dengan demikian proses pembelajaran
bisa berlangsung dengan sempurna. Perkembangan pengetahuan dan teknologi selalu
bisa dihadirkan disetiap pertemuan di depan kelas. Mungkin inilah gagasan
saudara Ardhie Raditya yang merunut dari
“Revolusi Edukasi Berbasis Teknologi” gagasan Nicholas Negroponte, ahli
komputer dari MIT-AS.
Gagasan
tersebut memang sangat bagus untuk pendidikan di Indonesia. Namun yang perlu di
pikirkan adalah kapan dimulai revolusi pendidikan berbasis teknologi. Tentunya
guru-guru Indonesia
sudah ketinggalan jauh dengan negara-negara Eropha. Tetapi lebih baik terlambat
dari pada tidak sama sekali melakukan revolusi pendidikan. Revolusi pendidikan
obyeknya adalah guru dulu, sehingga kemampuan guru tentang ICT bisa setara
dengan siswanya.
Bagaimana
guru-guru di Indonesia…?
Disalah satu SMP Negeri di Kabupaten Klaten mempunyai 42 guru. Dari 42
guru tersebut hanya 5 guru yang bisa mengoperasikan komputer dengan baik.
Sementara dari 5 guru tersebut hanya 3 yang bisa mengakses internet. Dari 3
guru yang bisa mengakses internet, hanya 1 guru yang aktif mengakses internet. Sementara yang 37
guru masih Gaptek dan tetap rajin bergelut dengan pensil, kapur, buku-buku
tebal dan ceramah di depan kelas. Seorang guru Golongan IV A yang ingin
memiliki komputer satu unit saja harus berpikir berulang-ulang. Ironisnya guru
tersebut harus menggadaikan SK-nya di Bank untuk bisa membeli satu unit
komputer. Yang lebih memalukan guru-guru di SMP tersebut tidak mau belajar
komputer, gemetar mendekati komputer dan apabila disuruh belajar komputer
merasa dirinya sudah terlambat.
Di SMP
tersebut mendapat beberapa guru baru.
Guru-guru baru itu sarjana S-1 lulusan antara tahun 2000 sampai 2008. Mestinnya
bisa menguasai komputer, tetapi kenyataannya kemampuan mengoperasikan komputer
sangat terbatas. Bahkan masih kalah dengan anak SMP kelas 7. Sebab siswa kelas 7 sudah bisa
mengkses internet dan membuat E-mail
sementara guru baru tersebut belum pernah mengakses internet. Hal ini
perlu dipertanyakan kompetensi pengetahuan dan ketrampilan semasa di perguruan
tinggi.
Siswa
selalu mengikuti perkembangan teknologi karena ada guru yang membimbing, maka
siswa di SMP tersebut merasa gaul dan tidak Gaptek lagi. Pembelajaran seperti
ini membuat siswa percaya diri dan tidak canggung untuk berhubungan dengan
dunia maya. Siswa mencari artikel untuk membuat kliping tidak perlu mencari
koran bekas, tetapi tinggal copy paste melalui internet. Sedangkan guru-gurunya
tidak tahu istilah “copy paste” seperti yang dilakukan oleh siswanya.
Revolusi
Pendidikan kapan…?
Fenomena di
salah satu SMP Negeri tersebut membuat hati menjadi tak sabar untuk melakukan
revolusi pendidikan berbasis teknologi. Namun sarjana pendidikan lulusan antara
tahun 2000 sampai 2008 saja tidak bisa menguasai ICT dengan baik, maka perlu
waktu yang tepat yaitu tahun 2025 untuk melaksanakan revolusi pendidikan
berbasis teknologi secara global. Mestinya pengangkatan guru baru harus melalui
tes pengetahuan dan ketrampilan penguasaan ICT. Kalau guru tidak mau belajar
komputer mulai dari sekarang, dipastikan guru-guru di Indonesia senasib dengan
guru di Tiongkok dan di Jerman. Sebab guru-guru di SMP tersebut sekarang sudah
ketinggalan jauh dengan siswanya, guru merasa malu dan merasa gaptek tetapi tidak mau belajar ICT.
Jadi revolusi pendidikan berbasis teknologi di Indonesia hanyalah mimpi buruk di
siang hari.
0 Comments