SMP Kecolongan Nilai UAN SD



Setiap awal Tahun Pelajaran Baru, semua SMP di seluruh Indonesia selalu sibuk dengan beberapa orang personel sebagai panitiya penerimaan siswa baru. Untuk SMP yang dianggap bermutu baik atau vaforit, pastilah menjadi pilihan utama dan menjadi serbuan calon siswa baru dari berbagai wilayah disekitar sekolah tersebut.
Pada penerimaan calon siswa baru Tahun Pelajaran 2008/2009, Depdiknas telah membuat aturan baru yaitu : seleksi PCPD (Penerimaan Calon Peserta Didik)   hanya menggunakan nilai hasil UAN SD. Aturan ini memang mudah dan praktis untuk dilaksanakan bahkan bisa menekan pembiayaan. Sehingga dalam waktu yang sangat singkat, panitiya langsung bisa mengumumkan dengan model jurnal. Apabila calon siswa baru tersebut nilai UAN nya tidak mencukupi batas minimal yang dialokasikan, calon siswa langsung bisa mencabut dan mencari sekolah alternatif lainnya. Sehingga bagi SMP yang menjadi pilihan utama dipastikan mendapat calon siswa baru dengan nilai yang baik. Sementara SMP yang menjadi pilihan kedua dan seterusnya, hanya mendapat calon siswa dengan nilai yang rendah-rendah.

Apakah nilai UAN yang tinggi bisa dipertanggungjawabkan ?
Pada salah satu SMP Negeri di Klaten, sekolah ini menjadi pilihan utama bagi calon siswa baru. Sekolah ini mendapatkan calon siswa baru dengan nilai UAN SD yang cukup tinggi. Nilai UAN yang tinggi ini sudah menjadi harapan pihak sekolah, karena nilai UAN yang tinggi dipastikan siswa tersebut mempunyai kemampuan intelegensi yang baik/cerdas. Siswa yang cerdas akan mudah menyerap materi pelajaran, mudah beradaptasi dan menjadikan out put SMP akan lebih baik.

Namun yang terjadi di lapangan bisa berbeda dengan nilai yang tertulis di lembar hasil UAN SD. Karena setelah siswa mengikuti pembelajaran di SMP kurang lebih 6 bulan, siswa-siswa tersebut akan kelihatan berdasarkan pengamatan tingkah laku di kelas/sekolahan dan  hasil penilaian  ulangan harian.

Menurut survey yang dilakukan pada salah satu SMP Negeri di Klaten, bahwa 30% siswa yang mempunyai nilai UAN  rata-rata  7,5 keatas, siswa-siswa tersebut kesulitan mengikuti pembelajaran yang diajarkan di SMP. Siswa–siswa tersebut menjadi bulan-bulanan temannya, olok-olokan dan akhirnya bisa berakibat fatal yaitu siswa menjadi rendah diri (Minder).

Kemudian dilakukan survey dengan wawancara terhadap siswa tersebut, bahwa ketika mengerjakan Soal UAN SD siswa-siswa tersebut :
1.     Mengerjakan soal UAN dengan bekerjasama sesama teman peserta ujian,
2.     Pengawas UAN membantu mengerjakan soal yang dianggap sulit,
3.     Siswa boleh bertanya kepada pengawas UAN,
4.     Salah satu guru di sekolah tersebut memberikan kunci jawaban kepada salah satu siswa dalam bentuk catatan kecil, kemudian kunci jawaban tersebut diberikan temannya secara bergiliran,

Kalau kualitas nilai UAN terus dinodai seperti ini, mungkin kualitas pendidikan di Indonesia tidak ber-anjak dari peringkat 39 dari 41 negara-negara berkembang. Tetapi dari beberapa pihak sekolah melakukan penodaan, karena ada tuntutan yang harus dipenuhi. Karena memenuhi tuntutan merasa tidak mampu, akhirnya semua pihak menghalalkan segala cara.
Siapa yang jadi korban…pastilah anak didik itu sendiri.

Post a Comment

0 Comments