Setiap 5 bulan sebelum UNAS di laksanakan dan 1
bulan setelah UNAS di laksanakan, semua orang menbiacarakan tentang UNAS. Guru,
karyawan sekolah, siswa dan orang tua siswa menghabiskan sebagian besar
waktunya untuk mensukseskan UNAS. Orang tua siswa di kumpulkan di sekolah untuk
membicarakan UNAS, guru-guru sering rapat dengan agenda UNAS bahkan pejabat
politis menghimbau semua jajarannya untuk berperan aktif mengsuksekan UNAS.
Kegiatan belajar di optimalkan, siswa di beri pelajaran
tambahan/les UNAS, lembaga-lembaga pendidikan non formal di penuhi pelajar yang
akan menempuh UNAS, siswa di ajak untuk mengerjakan soal-soal, kegiatan-kegiatan
religius (do’a bersama, tirakatan dan meminta dukungan para normal), jam
pelajaran di tambah bahkan jam mata pelajaran yang bukan materi UNAS bisa
dipakai untuk jam pelajaran UNAS.. Disini timbul permasalahan, bahwa mata
pelajaran yang bukan materi UNAS dipandang sebagai pelajaran yang tidak penting.
Bagi orang tua yang kurang percaya dengan guru di
sekolah, mereka akan membawa anaknya masuk pada lembaga pendidikan non formal.
Ikut les tambahan pada lembaga pendidikan non formal adalah salah satu jurus
yang paling diminati untuk mensukseskan UNAS.
Setiap guru di depan siswa, selalu membicarakan
tentang UNAS. Kepala sekolah sampai tidak bisa tidur dengan nyenyak karena
memikirkan UNAS. Sementara siswa lebih suka merenung dan berdiam diri
membayangkan seandainya dirinya tidak lulus. Ketika diadakan uji coba UNAS dan
siswa yang tidak lulus menjadi bingung, putus asa, stres dan akhirnya menangis
tanpa ada sebab yang jelas.
Kemampuan intelegensi siswa pastilah beragam,
tetapi dalam menghadapi UNAS semua siswa di paksa untuk bisa mengerjakan soal
yang sama. Sehingga dalam pelaksanaan UNAS tidak ada perbedaan antara sekolah kota dan desa, anatara
anak orang kaya dan anak orang miskin. Namun betapa sulit dan berat, mau tidak
mau UNAS harus dihadapi semua siswa di seluruh Indonesia.
Lebih mengherankan lagi bahwa guru-guru yang
mengajar materi mata pelajaran UNAS, tidak boleh mengawasi pelaksanaan UNAS,
tidak boleh masuk atau mendekati ruang UNAS, tidak boleh mengkoreksi hasil UNAS
dan tidak boleh menilai hasil UNAS siswanya. Berarti guru-guru tersebut hanya
boleh mengajar dan harus menanggung resiko apabila ada siswanya yang tidak
lulus, serta harus mempertanggungjawabkan selama mengajar kepada kepala
sekolah, siswa, orang tua siswa dan
masayarakat sekitarnya.
Inilah berhala zaman baru yang sedang di puja-puja
kaum intelektual dan calon-calon Intelektual Indonesia. Semoga berhala ini cepat
sirna dan kaum intelektual tersadar untuk kembali pada pendidikan yang membumi.
0 Comments